Berbuat Adil

Terkadang memegang teguh peraturan merupakan hal yang benar, namun terkadang membuat pengecualian demi kebaikan murid adalah juga tindakan yang tepat.

Berbuat Adil

Sebagai seorang pemimpin, kita sering kali dihadapkan pada pilihan berat. Ibarat buah Simalakama, kita dihadapkan pada situasi atau keputusan yang sulit dipilih atau sulit untuk dibenahi karena jika memilih salah satu pilihan, maka akan menimbulkan masalah yang sama besarnya dengan memilih pilihan yang lain.

Oke. Mari perhatikan dua kasus di bawah ini.

Kasus 1.
Rayhan, murid kelas 12 yang berbakat di seni dan sopan, namun lemah dalam Matematika, telah diterima di universitas pilihannya dengan beasiswa sebelum Ujian Akhir SMA. Ketika menghadapi ujian Matematika, ia ketahuan menyontek oleh pengawas ujian, Pak Didi, yang kemudian melaporkannya ke kepala sekolah, Ibu Dian. Menindaklanjuti kasus ini akan berdampak pada kesempatan Rayhan untuk mendapatkan beasiswa, sementara menyimpannya rapat-rapat dapat mempertanyakan prinsip keadilan yang dijunjung di sekolah.

Kasus 2.
Sebagai kepala sekolah baru di SMA Bakti Nusantara, Pak Doni menerima dana Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dari sebuah perusahaan minyak untuk membiayai pelatihan guru dalam bidang literasi digital. Setelah pelatihan selesai, Ibu Rini, bendahara kegiatan, menanyakan apakah akan ada acara makan-makan bagi para guru. Ibu Rini juga mengungkapkan bahwa masih ada sisa dana CSR yang biasanya digunakan untuk acara makan-makan. Namun, Ibu Rini juga mengakui bahwa dia terbiasa membuat kwitansi palsu untuk membiayai acara tersebut, dengan sepengetahuan kepala sekolah sebelumnya. Sebagai kepala sekolah yang bertanggung jawab, Pak Doni dihadapkan pada pilihan yang sulit. Apakah ia akan membiarkan praktik ini berlanjut dan mengambil bagian dari sisa dana CSR, atau mengambil tindakan yang tepat dengan mematuhi aturan dan menghindari segala bentuk pelanggaran? Sebagai pemimpin yang bertanggung jawab, keputusan yang diambil oleh Pak Doni akan memengaruhi integritas sekolah dan reputasi dirinya sendiri.

Nah, dari dua kasus di atas, manakah yang lebih menantang?

Saya pribadi berpendapat, situasi yang lebih menantang untuk mengambil keputusan adalah pada kasus nomor 1. Mengapa? Karena dalam kasus tersebut terdapat konflik antara kebijakan sekolah dalam menegakkan disiplin dan peluang Rayhan untuk mendapatkan beasiswa di universitas impian. Selain itu, keputusan yang diambil juga dapat mempengaruhi kepercayaan dan prinsip keadilan yang dijunjung oleh sekolah.

Ibu Dian berada dalam Dilema Etika karena kedua pilihan yang tersedia sama-sama benar. Sebagai Ibu Dian, kita dapat menerapkan prinsip keadilan dengan memberikan konsekuensi pada Rayhan sesuai aturan sekolah, meskipun hal tersebut berpotensi mengakibatkan pembatalan beasiswa yang sangat diimpikan oleh Rayhan di universitas. Namun, kita juga dapat membuat pengecualian karena kasih sayang dan belas kasihan pada Rayhan, demi masa depan yang lebih baik baginya. Terkadang memegang teguh peraturan merupakan hal yang benar, namun terkadang membuat pengecualian demi kebaikan murid adalah juga tindakan yang tepat. Keputusan untuk mematuhi aturan dapat didasarkan pada rasa hormat terhadap keadilan, sementara keputusan untuk membuat pengecualian dalam aturan dapat didasarkan pada rasa belas kasihan dan kebaikan hati.

Sedangkan pada kasus nomor 2, keputusan yang diambil terkait dengan masalah etika dalam menggunakan dana CSR dan membuat kuitansi palsu, yang jelas-jelas melanggar hukum dan nilai-nilai kejujuran. Situasi pada kasus ke 2 disebut Bujukan Moral, karena seseorang harus membuat keputusan antara benar atau salah.

Kembali ke kasus nomor 1. Mungkin ada di antara pembaca yang bertanya, "Jadi, apa yang sebaiknya dilakukan oleh ibu Dian selaku kepala sekolah?"

Sebagai pemimpin, kita perlu mempertimbangkan tiga unsur dalam pengambilan keputusan, yaitu kepentingan murid, nilai-nilai kebajikan universal, dan tanggung jawab atas konsekuensi dari keputusan yang diambil.

Dengan demikian, menurut hemat saya, sebagai kepala sekolah, Ibu Dian harus bertindak sesuai dengan peraturan dan etika yang berlaku di sekolah. Oleh karena itu, Ibu Dian harus menindaklanjuti kasus ini dan memberikan sanksi yang sesuai kepada Rayhan karena telah melakukan tindakan menyontek saat ujian akhir sekolah. Sanksi yang diberikan harus adil dan proporsional dengan tindakan yang dilakukan, sehingga tidak merugikan Rayhan secara berlebihan.

Namun, sebelum menindaklanjuti kasus ini, Ibu Dian sebaiknya memeriksa peraturan sekolah dan konsultasi dengan pihak yang berwenang untuk menentukan jenis dan tingkat sanksi yang tepat untuk kasus ini. Ibu Dian juga dapat berbicara dengan Rayhan dan memberikan kesempatan kepadanya untuk menjelaskan alasannya melakukan tindakan menyontek, serta memberikan saran dan dukungan untuk meningkatkan kemampuan matematikanya agar tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.

Ibu Dian harus tetap memperhatikan prinsip keadilan dan tidak memihak pada salah satu pihak, baik itu Rayhan ataupun Pak Didi. Oleh karena itu, Ibu Dian harus memastikan bahwa keputusan yang diambil didasarkan pada fakta yang jelas dan objektif, serta memperhitungkan konsekuensi dari setiap tindakan yang diambil.

Sebagai penutup, izinkan saya mengutip sebagian isi Surah Al-Maidah ayat 8, yang berbunyi: "Janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, membuatmu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa."

Memberikan hukuman yang berlebihan bisa berakibat negatif pada pelaku dan lingkungan sekitarnya. Beberapa alasan mengapa tidak baik berlebihan memberi hukuman adalah:

  1. Merugikan pelaku secara berlebihan: Hukuman yang terlalu berat bisa merugikan pelaku secara berlebihan, baik itu secara fisik maupun psikologis. Ini bisa menyebabkan pelaku merasa terdiskriminasi atau tidak adil, bahkan memperburuk keadaannya.
  2. Tidak memperbaiki kesalahan: Hukuman yang terlalu berat tidak selalu efektif dalam memperbaiki kesalahan pelaku. Sebaliknya, itu bisa memicu perilaku yang lebih buruk dan melukai diri sendiri atau orang lain.
  3. Memicu perasaan benci: Hukuman yang terlalu berat bisa membuat pelaku merasa benci pada lingkungan sekitarnya, terutama pada orang yang memberikan hukuman. Ini bisa memperburuk hubungan antarindividu atau kelompok.
  4. Tidak menyelesaikan masalah: Hukuman yang terlalu berat tidak selalu menyelesaikan masalah yang ada. Sebaliknya, itu bisa membuat masalah semakin rumit dan sulit untuk diatasi.

Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan sanksi yang tepat dan proporsional dengan kesalahan yang dilakukan, dan memberikan kesempatan pada pelaku untuk memperbaiki kesalahannya. Tujuannya adalah agar pelaku dapat belajar dari kesalahan dan tidak melakukan kesalahan yang sama di masa yang akan datang, serta memperbaiki hubungan antarindividu atau kelompok.

Semoga tulisan ini berguna. Aamiin.


Catatan:
Bila anda tertarik mempelajari lebih lanjut tentang Dilema Etika, anda bisa membaca buku: How Good People Make Tough Choices: Resolving the Dilemmas of Ethical Living, Rushworth M.Kidder, 1995, USA: HarperCollins Publishers.

Buku ini membahas bagaimana orang yang baik mengatasi dilema etika dalam kehidupan sehari-hari.

Kidder mengidentifikasi delapan prinsip etika yang dapat membantu seseorang membuat keputusan yang baik dan tepat dalam situasi yang sulit. Prinsip-prinsip tersebut mencakup prinsip keadilan, penghargaan terhadap martabat manusia, tanggung jawab sosial, rasa hormat terhadap hukum, kepatuhan pada aturan, kesetiaan, integritas, dan tanggung jawab pribadi.

Kidder menggunakan studi kasus dan skenario nyata untuk mengilustrasikan bagaimana prinsip-prinsip tersebut dapat diterapkan dalam situasi yang kompleks dan sulit. Dia juga memberikan saran praktis untuk mengembangkan kemampuan untuk membuat keputusan etis dan mengatasi dilema etika yang muncul dalam kehidupan sehari-hari.

Secara keseluruhan, buku ini membantu pembaca untuk memahami betapa pentingnya membuat keputusan yang tepat secara etis dalam kehidupan sehari-hari dan memberikan kerangka kerja yang berguna untuk membantu orang membuat keputusan yang etis dan bermartabat.