Gantilah Kekerasan Fisik dan Verbal dengan Segitiga Restitusi

Menghukum anak dengan kekerasan fisik atau kekerasan verbal tidak lagi relevan dan tidak efektif dalam mendidik anak. Metode ini dapat menyebabkan cedera fisik dan trauma emosional pada anak serta tidak efektif dalam jangka panjang.

Gantilah Kekerasan Fisik dan Verbal dengan Segitiga Restitusi

Beberapa orang tua masih ada yang berprinsip seperti ini: "Anak jangan dimanja. Jangan lembék. Kehidupan di luar lebih keras. Lebih baik anak dipukuli orang tuanya di rumah dari pada nanti di luar dikeroyok massa karena dia berbuat salah. Apa jadinya kelak bila kita punya anak céngéng yang baru dimarahi saja sudah menangis? Kalau tidak dimarahi, anak tidak akan tahu salahnya di mana."

Benarkah pendapat ini?
Menurut saya, ini kurang tepat. Lebih bagus adalah anak tidak dikeroyok massa dan juga tidak dipukuli orang tuanya. 😄
Anak tidak perlu dipukuli orang tuanya agar kelak tidak dikeroyok massa, seperti halnya kita pun tidak perlu pernah digigit ular berbisa hanya agar tahu bahwa venom (bisa ular) itu mematikan. Masih banyak cara-cara lain yang lebih baik.

Pendapat bahwa anak tidak boléh dimanja dan harus diberi disiplin yang keras agar bisa bertahan di kehidupan yang keras di luar sana —termasuk menghukum anak dengan kekerasan fisik dan/atau kekerasan vérbal— adalah pandangan yang tidak lagi rélevan atau tidak éféktif dalam mendidik anak. Sebaliknya, pandangan seperti ini dapat berbahaya dan berdampak négatif pada kesejahteraan dan perkembangan anak.

Pertama-tama, menghukum anak dengan kekerasan fisik dapat menyebabkan cedera fisik dan trauma émosional pada anak. Kekerasan fisik juga dapat menyebabkan anak menjadi takut pada orang tua atau merasa tidak aman di rumah. Maukah bapak/ibu punya anak yang tidak betah di rumah? Bukankah kita yang seharusnya mendidik anak? Bukan teman-temannya di luar sana!

Kedua, pandangan bahwa anak harus diberi disiplin yang keras agar bisa bertahan di kehidupan yang keras di luar sana juga tidak akurat. Anak-anak tidak perlu dipukuli atau dihukum dengan cara yang kasar untuk belajar tentang konsékuénsi dari perilaku meréka. Ada banyak cara yang lebih éféktif dan positif untuk mendidik anak tentang benar dan salah, termasuk memberi penjelasan dan pengarahan yang éféktif, mengatur aturan dan konsékuensi yang jelas, dan memberikan penghargaan untuk perilaku yang baik.

Ketiga, mengharapkan anak untuk tidak menangis atau menjadi "lembék" saat dihukum atau dimarahi oleh orang tua adalah harapan yang tidak réalistis dan tidak adil. Anak-anak memiliki perasaan dan émosi yang perlu dihargai dan dipahami. Meréka bukan Robot yang tidak punya hati. Membenci atau menolak anak yang menangis atau merasa émosional hanya akan memperburuk situasi dan meningkatkan risiko anak menjadi tertekan atau cemas.

Metode pendidikan dengan kekerasan fisik dapat menyebabkan trauma émosional pada anak. Selain itu, anak yang diperlakukan dengan kekerasan fisik cenderung mengembangkan rasa takut, marah, dan déprési. Masih ada cara lain yang lebih baik dan lebih éféktif yang nanti akan saya jelaskan.

"Tentara dididik keras. Malah dipukuli komandannya. Hasilnya bagus! Disiplin. Mengapa anak tidak boléh?" Mungkin ada yang bertanya begitu.

Penjelasannya begini bapak/ibu. Anak dan tentara berada di situasi yang sangat berbéda dalam hal kontéks, tujuan, dan harapan. Oléh karena itu, cara pendidikannya pun berbéda. Tentara dilatih untuk menghadapi situasi perang dan bertahan dalam kondisi yang sangat ékstrim. Tentara diharapkan bisa menjalankan tugas meréka dengan éféktif dan éfisién di tengah kondisi yang sulit dan mematikan. Di médan tempur tidak ada sopan santun. Yang ada adalah membunuh atau dibunuh musuh.

Sedangkan anak adalah individu yang sedang dalam tahap perkembangan, belajar dan mencoba memahami dunia di sekitarnya. Anak membutuhkan bimbingan, dukungan, dan pemahaman dari orang déwasa untuk membantunya tumbuh menjadi individu yang mandiri dan bertanggung jawab. Maukah bapak/ibu punya anak seperti préman yang suka memaki dan memukul siapa pun yang dianggap musuhnya? Tentu tidak kan?

Saya anak tentara. Bapak saya prajurit Angkatan Darat. Di kedinasan beliau keras, tapi kepada anak-anaknya tetap lembut.

Penelitian telah menunjukkan bahwa penggunaan kekerasan fisik dalam menghukum anak tidak éféktif dalam jangka panjang. Anak-anak yang dipukul atau disakiti cenderung menunjukkan perilaku agrésif dan mempertahankan sikap négatif terhadap orang yang menghukum meréka.

Sementara itu, anak-anak yang didorong untuk berperilaku positif melalui penjelasan dan pengarahan yang éféktif cenderung lebih mampu mengembangkan kepercayaan diri, empati, dan pemahaman yang séhat tentang aturan dan tindakan yang tepat.

Anak melakukan kesalahan mungkin karena belum tahu bahwa tindakannya salah. Untuk anak-anak, sebaiknya kita memberi tahu mengapa dia tidak boléh berbuat seperti itu. Kita lebih fokus pada perbaikan ke depan dari pada mencari kesalahan yang telah terjadi. Untuk anak remaja, kita bisa membuat kesepakatan yang dibuat bersama antara orang tua dan anak. Bukan berarti orang tua tidak boléh membuat peraturan, tapi peraturan itu hendaknya didampingi pula dengan kesepakatan.

💡
Di Pendidikan Calon Guru Penggerak diajarkan tentang Kesepakatan Kelas dan Segitiga Réstitusi. Saya pikir, bukan hanya guru yang perlu mengetahui dua hal ini. Masyarakat luas pun perlu memahami.
Segitiga Restitusi

Berdasarkan penelitian dan studi kasus yang dilakukan, terdapat beberapa bukti yang menunjukkan bahwa sebagian besar pembunuh berantai memiliki pengalaman masa kecil yang penuh dengan kekerasan atau trauma.

Misalnya, sebuah studi yang dilakukan oléh FBI menemukan bahwa sekitar 70% dari 36 pembunuh berantai yang diteliti mengalami penganiayaan fisik atau séksual saat masih anak-anak. Studi lain yang dilakukan oléh para psikolog juga menemukan bahwa pengalaman masa kecil yang buruk seperti pelécéhan, penganiayaan, atau penelantaran dapat mempengaruhi perkembangan kognitif dan émosional anak, sehingga meningkatkan risiko anak tersebut menjadi pembunuh berantai di masa depan.

Namun, perlu dicatat bahwa tidak semua anak yang mengalami pengalaman buruk di masa kecil akan menjadi pembunuh berantai di masa depan. Ada banyak faktor yang mempengaruhi perilaku dan keputusan seseorang, termasuk faktor génetik, lingkungan sosial, dan faktor psikologis lainnya.

Semua Yang Besar Berawal Dari Hal Kecil

Di depan kelas, saya sering menasihati murid-murid agar menjaga ucapan meréka, karena ucapan bisa menjadi kebiasaan, dan kebiasaan perlahan-lahan membentuk sifat atau karakter meréka.

Suatu kesalahan kecil, bila dibiasakan dan dianggap lumrah, akan berkembang menjadi kesalahan besar. Mari kita téngok pada kasus Luka Rocco Magnotta.

Magnotta adalah seorang pria Kanada yang awalnya dikenal sebagai seseorang yang memposting vidéo penyiksaan héwan di internét. Vidéo tersebut menunjukkan Magnotta menyiksa dan membunuh kucing dengan sangat kejam, yang kemudian menjadi viral di média sosial. Hal ini memicu kemarahan dan reaksi publik yang besar terhadap perilaku kejam tersebut.

Namun, bukan hanya pada héwan saja, Magnotta kemudian melakukan tindakan yang lebih mengerikan, yaitu membunuh dan memutilasi tubuh manusia. Pada tahun 2012, Magnotta ditangkap di Bérlin setelah melarikan diri dari Kanada, di mana ia telah membunuh dan memutilasi tubuh seorang mahasiswa Cina di Montreal.

Menurut para ahli, perilaku kejam pada héwan seringkali menjadi tanda-tanda awal dari kecenderungan kekerasan yang lebih parah pada manusia. Dalam kasus Magnotta, tindakannya pada héwan kemungkinan merupakan tanda-tanda psikopati yang lebih besar dan kelainan jiwa lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan kekerasan pada héwan dapat menjadi tanda bahaya dan peringatan dini terhadap kecenderungan kekerasan pada manusia.

Dampak Buruk Sering Dimarahi

Oké. Kembali lagi ke bahasan tentang kekerasan fisik dan vérbal.

Dalam jangka péndék, terus-menerus dimarahi bisa membuat anak merasa takut, cemas, atau tidak aman. Anak-anak yang sering dimarahi mungkin juga menjadi lebih sulit untuk diajak bekerja sama dan lebih sering menunjukkan perilaku yang menentang atau bertentangan.

Dalam jangka panjang, terus-menerus dimarahi juga dapat menyebabkan masalah émosional dan perilaku yang lebih serius pada masa déwasa. Beberapa dampak buruk dari sering dimarahi di masa kecil adalah sebagai berikut:

  1. Masalah keséhatan méntal: Anak yang sering dimarahi cenderung lebih mudah mengalami gangguan keséhatan méntal seperti déprési dan kecemasan pada masa déwasa. Meréka juga dapat mengalami kesulitan mengontrol émosi dan memprosés konflik dengan cara yang séhat.
  2. Perilaku agrésif: Anak-anak yang sering dimarahi dapat menunjukkan perilaku agrésif pada masa déwasa. Meréka juga cenderung lebih mudah marah dan sulit untuk mengendalikan émosi.
  3. Gangguan hubungan sosial: Terus-menerus dimarahi juga dapat membuat anak merasa tidak aman dan sulit untuk membentuk hubungan sosial yang séhat. Anak-anak yang sering dimarahi dapat merasa terasing dari teman sebaya dan sulit membangun ikatan sosial yang kuat.
  4. Rendahnya harga diri: Anak-anak yang sering dimarahi dapat merasa tidak berharga atau tidak dicintai. Hal ini dapat mengakibatkan rendahnya harga diri pada masa déwasa dan membuat anak lebih rentan terhadap gangguan keséhatan méntal seperti déprési, bahkan usaha bunuh diri.

Peraturan vs Kesepakatan

Di dalam suatu kelas (terutama pada kelas-kelas yang wali kelasnya adalah Guru Penggerak) terdapat Peraturan Kelas dan Kesepakatan Kelas.

Yang membédakan, Kesepakatan Kelas adalah:

  1. Dibuat bersama-sama oléh anggota kelas.
    Kesepakatan Kelas dibuat secara partisipatif oléh seluruh anggota kelas atau kelompok, sehingga masing-masing anggota merasa memiliki tanggung jawab untuk mematuhinya. Sementara itu, Peraturan Kelas biasanya dibuat oléh guru atau staf sekolah, yang dapat membuat murid merasa tidak memiliki tanggung jawab dalam membuat peraturan tersebut.
  2. Lebih fléksibel.
    Kesepakatan Kelas dapat lebih fléksibel dan dapat diadaptasi dengan mudah sesuai dengan kebutuhan dan keinginan anggota kelas. Sementara Peraturan Kelas lebih formal dan sulit untuk diubah, dan sering kali berlaku untuk seluruh sekolah.
  3. Mendorong partisipasi aktif.
    Dalam prosés pembuatan Kesepakatan Kelas, murid harus terlibat secara aktif dalam memberikan masukan dan ide, sehingga mendorong partisipasi aktif murid dalam prosés pembelajaran. Sementara itu, Peraturan Kelas lebih sering diterapkan secara top-down, sehingga murid kurang memiliki peran dalam prosés pembuatan peraturan tersebut.
  4. Meningkatkan rasa memiliki terhadap kelas.
    Kesepakatan Kelas dapat membantu meningkatkan rasa memiliki terhadap kelas, karena murid merasa memiliki andil dalam pembuatan aturan yang meréka patuhi. Hal ini dapat membantu menciptakan lingkungan belajar yang positif dan saling mendukung di kelas.
  5. Fokus pada perilaku positif.
    Kesepakatan Kelas sering kali difokuskan pada perilaku positif yang harus diperlihatkan oléh murid, seperti saling menghargai dan menghormati. Sementara itu, Peraturan Kelas cenderung lebih berfokus pada perilaku yang tidak diizinkan, seperti dilarang membawa rokok atau tidak membawa senjata tajam ke sekolah.

Tidak ada salahnya di rumah pun dibuat kesepakatan, misalkan dinamai Kesepakatan Keluarga. Kesepakatan ini nanti akan menjadi landasan orang tua dalam menerapkan Segitiga Restitusi kepada putra/putrinya.

Segitiga Restitusi

Segitiga Réstitusi adalah sebuah modél untuk menyelesaikan konflik dan mengajarkan anak-anak untuk bertanggung jawab atas tindakan meréka. Modél ini dikembangkan oleh Diane Gossen, seorang konsélor sekolah dan penulis.

Segitiga restitusi

Segitiga ini memiliki tiga sisi:

  1. Menstabilkan Idéntitas: Langkah ini adalah tentang membantu orang yang telah melakukan kesalahan untuk merasa aman dan nyaman. Penting untuk diingat bahwa setiap orang melakukan kesalahan, dan hal ini tidak membuat orang tersebut menjadi orang yang buruk.
  2. Validasi Kebutuhan: Langkah ini adalah tentang memahami mengapa orang tersebut melakukan kesalahan. Setiap orang memiliki kebutuhan, dan terkadang kita melakukan kesalahan saat mencoba memenuhi kebutuhan tersebut. Penting untuk membantu orang tersebut mengidentifikasi kebutuhannya dan menemukan cara yang sehat untuk memenuhinya.
  3. Hubungkan dengan Nilai dan Keyakinan: Langkah ini adalah tentang membantu orang tersebut untuk menghubungkan tindakan meréka dengan nilai-nilai dan keyakinan meréka. Ketika kita memahami nilai-nilai dan keyakinan kita, akan lebih mudah untuk membuat pilihan yang sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Untuk bapak/ibu guru, bisa berdiskusi dengan para murid dalam membuat Kesepakatan Kelas.

Segitiga Réstitusi dapat digunakan dalam berbagai situasi, termasuk:

  • Ketika seorang anak melakukan kesalahan di rumah atau sekolah;
  • Ketika konflik muncul antara dua orang;
  • Ketika seseorang telah melanggar hukum.
💡
Segitiga Réstitusi adalah alat yang berguna untuk mengajar anak-anak dan orang déwasa agar bertanggung jawab atas tindakan meréka dan menyelesaikan konflik dengan cara yang positif.

Berikut adalah beberapa tips tambahan untuk menggunakan Segitiga Réstitusi:

  • Bersabarlah. Perlu waktu untuk mempelajari cara menggunakan Segitiga Réstitusi secara éféktif.
  • Bersikaplah hormat. Ingatlah bahwa setiap orang yang terlibat dalam konflik adalah manusia yang layak diperlakukan dengan hormat.
  • Bersikaplah positif. Fokuslah pada solusi, bukan masalah.
  • Bersikaplah fléksibel. Segitiga Réstitusi adalah sebuah panduan, bukan sebuah buku aturan. Bersedialah untuk menyesuaikannya dengan situasi tertentu.