Penyebab Perundungan di Media Sosial
Bila anda adalah pengguna aktif X (Twitter), Threads dan Tiktok, mungkin anda melihat bahwa di media sosial ada sekelompok orang yang gemar merundung orang lain. Ada apa ini?

Fenomena orang yang gemar membully orang tak dikenal di media sosial (seperti X/Twitter, Threads, TikTok) bisa dijelaskan dari beberapa perspektif psikologis dan sosial. Berikut faktor-faktor utama yang mendasarinya:
1. Online Disinhibition Effect
- Penjelasan: Di dunia maya, orang merasa "terlepas" dari identitas nyata dan norma sosial. Anonimitas, ketidakterlihatan fisik, dan jarak psikologis membuat mereka lebih berani melakukan hal yang tak akan dilakukan di dunia nyata.
- Contoh: Mengejek fisik, menghina pendapat, atau mengancam tanpa takut konsekuensi langsung.
2. Deindividuation (Deindividuasi)
- Mekanisme: Saat berada dalam kerumunan digital (misal: kolom komentar), identitas individu larut dalam kelompok. Mereka merasa tak bertanggung jawab secara personal sehingga norma moral melemah.
- Dampak: Perilaku agresif meningkat karena merasa "hanya satu dari banyak orang".
3. Kompensasi Ketidakberdayaan
- Psikodinamika: Pelaku bullying seringkali merasa tak berdaya dalam hidupnya sendiri (misal: frustasi kerja, masalah keluarga). Melukai orang lain memberi ilusi kontrol dan kekuatan.
- Proyeksi: Mereka memproyeksikan rasa malu atau ketidakamanan diri kepada korban sebagai cara defensif.
4. Dopamine Rush dari Konflik
- Neurologis: Kontroversi dan adu argumen di medsos memicu pelepasan dopamine (hormon kepuasan). Bagi sebagian orang, "menang" dalam perundungan memberi sensasi reward.
- Algoritma: Platform medsos sering memprioritaskan konten konflik karena tinggi engagement, tak sengaja memperkuat perilaku ini.
5. Social Comparison & Schadenfreude
- Teori Perbandingan Sosial: Orang cenderung membandingkan diri dengan orang lain. Saat merasa iri atau inferior, merendahkan orang lain jadi cara cepat "menaikkan" diri sendiri.
- Schadenfreude: Kepuasan melihat orang lain menderita—terutama jika korban dianggap "lebih sukses" atau "sombong".
6. Moral Disengagement (Pelepasan Moral)
- Mekanisme Kognitif: Pelaku menggunakan pembenaran seperti:
- "Dia memang pantas dibully karena pendapatnya bodoh!" (Pembenaran moral)
- "Ini cuma bercanda, jangan baper!" (Minimalisasi konsekuensi)
- "Banyak juga yang setuju saya!" (Difusi tanggung jawab)
7. Kurangnya Empati Digital
- Empathy Deficit: Ketidakadaan ekspresi wajah, intonasi suara, dan konteks sosial membuat pelaku kesulitan merasakan penderitaan korban. Otak tak memproses rasa sakit orang lain sebagaimana di interaksi tatap muka.
8. Faktor Lingkungan & Budaya
- Normalisasi: Di ruang digital di mana bullying sering terjadi, perilaku ini dianggap "wajar".
- Echo Chamber: Komunitas yang mendukung kebencian akan memperkuat keyakinan pelaku bahwa tindakannya benar.
Catatan Penting
- Bukan Pembenaran: Penjelasan psikologis ini bukan pembenaran untuk perilaku buruk, hanya analisis penyebab.
- Korban Bukan Penyebab: Kesalahan selalu ada pada pelaku, bukan korban—sekalipun korban dianggap "provokatif".
- Dampak Serius: Cyberbullying berpotensi menyebabkan depresi, PTSD, bahkan bunuh diri pada korban.